Dua Presiden RI Yang Terlupakan
0
komentar
Gambar : Sjraifudin Prawiranegara dan Mr. Assaat
Di dalam perjalanannya, sejarah mencatat, bahwa Indonesia dipimpin oleh seorang kepala negara yang menjalankan pemerintahan, yaitu presiden. Ada 6 nama presiden yang umum diketahui selama ini sebagai pemimpin pemerintahan NKRI. Mereka, adalah :
1. Soekarno (1945-1966)
2. Soeharto (1966-1998)
3. BJ. Habibie (1998-1999)
1. Soekarno (1945-1966)
2. Soeharto (1966-1998)
3. BJ. Habibie (1998-1999)
4. Abdurahman Wahid (1999-2001)
5. Megawati Sukarnoputri (2001-2004)
6. Susilo Bambang Yudhoyono (2004-sekarang)
Namun, ada dua nama presiden yang dilupakan oleh sejarah Indonesia. Nama-nama yang terlupakan begitu saja itu, adalah Sjafruddin Prawiranegara yang menjabat presiden pada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), dari tanggal 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949, dan Mr. Assaat yang memangku sementara jabatan Presiden Republik Indonesia (RI) pada periode 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950, setelah Konferensi Meja Bundar (KMB).
Dua nama Presiden tersebut merupakan nama yang tak tercatat di dalam sejarah Indonesia, mungkin karena alpa, tetapi mungkin juga disengaja dengan alasan-alasan tertentu.
Sjafruddin Prawiranegara, Presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), periode 22 Desember 1948 hingga 13 Juli 1949
Sjafruddin Prawiranegara pernah menjabat sebagai Presiden yang merangkap menteri pertahanan, penerangan, dan luar negeri ad interim pada Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), yang dibentuk untuk menyelamatkan pemerintahan RI.
Saat itu, Belanda baru saja melancarkan agresi militer ke-2, pada 19 Desember 1948, di Ibukota RI yang saat itu berkedudukan di Yogyakarta. Belanda pun menahan Presiden dan Wakil Presiden RI saat itu, Soekarno-Hatta.
Di sela-sela penangkapan itu, Soekarno mengirim telegram kepada Sjafruddin yang saat itu menjabat sebagai Menteri Kemakmuran RI, dan tengah berada di Bukittinggi, Sumatera Barat. Kepada Sjafruddin, Soekarno meminta agar dibentuk pemerintahan darurat di Sumatera, jika pemerintah tidak dapat menjalankan kewajibannya lagi.
Sjafruddin dan tokoh-tokoh bangsa lainnya di Sumatera kemudian membentuk PDRI, untuk menyelamatkan negara yang berada dalam keadaan berbahaya akibat kekosongan posisi kepala pemerintahan (Vacuum Of Power). Karena, posisi itu menjadi salah satu syarat internasional untuk di akui sebagai negara di dunia. PDRI pun diproklamirkan 22 Desember 1948 di Desa Halaman, sekitar 15 Kilometer dari Payakumbuh.
Jabatan Presiden merangkap menteri pertahanan, penerangan, dan luar negeri ad interim yang di isi Sjafruddin, kemudian berakhir setelah dia menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno yang kembali ke Yogyakarta pada 13 Juli 1949. Riwayat PDRI pun berakhir.
Mr. Assaat, Pemangku Sementara Jabatan Presiden Republik Indonesia (RI), periode 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950.
Sekitar tahun 1946-1949, di Jalan Malioboro, Yogyakarta, sering terlihat seorang berbadan kurus semampai berpakaian sederhana sesuai dengan irama revolusi. Terkadang ia berjalan kaki, kalau tidak bersepeda menelusuri Malioboro menuju ke kantor KNIP tempatnya bertugas. Orang ini tidak lain adalah Mr. Assaat, yang selalu menunjukkan sikap sederhana berwajah cerah di balik kulitnya yang kehitam-hitaman. Walaupun usianya saat itu baru 40 tahun, terlihat rambutnya mulai memutih. Kepalanya tidak pernah lepas dari peci beludru hitam.
Mungkin generasi muda sekarang kurang atau sedikit sekali mengenal perjuangan Mr. Assaat sebagai salah seorang patriot demokrat yang tidak kecil andilnya bagi menegakkan serta mempertahankan Republik Indonesia. Assaat adalah seorang yang setia memikul tanggung jawab, baik selama revolusi berlangsung hingga pada tahap akhir penyelesaian revolusi. Pada masa-masa kritis itu, Assaat tetap memperlihatkan dedikasi yang luar biasa.
Mr. Assaat pernah dipercaya menjabat Pemangku sementara jabatan Presiden Republik Indonesia (RI), pada periode 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950. Jabatan itu diamanatkan kepada Mr. Assaat, setelah perjanjian KMB 27 Desember 1949 memerintahkan pemerintah Belanda menyerahkan kedaulatan Indonesia kepada pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS).
RIS merupakan negara serikat yang terdiri dari 16 negara bagian, salah satunya adalah Republik Indonesia (RI), yang saat itu dipimpin pemangku sementara jabatan Presiden, Mr Assaad. Jabatan itu diisi Mr. Assaat, karena Soekarno dan Hatta ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RIS, akibatnya pimpinan RI kosong.
Peran Mr. Assaat saat itu sangat penting, karena jika RI tanpa pimpinan, berarti ada kekosongan kekuasaan (Vacuum Of Power) dalam sejarah Indonesia. Jabatan Mr. Assaat sebagai pemangku sementara jabatan Presiden RI, berakhir setelah Belanda dan dunia internasional mengakui kembali kedaulatan RI.
RIS dilebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pada 15 Agustus 1950. Soekarno dan Hatta kembali ditetapkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, sementara jabatan Mr. Assaat sebagai pemangku sementara jabatan Presiden RI dinyatakan berakhir.
RIS merupakan negara serikat yang terdiri dari 16 negara bagian, salah satunya adalah Republik Indonesia (RI), yang saat itu dipimpin pemangku sementara jabatan Presiden, Mr Assaad. Jabatan itu diisi Mr. Assaat, karena Soekarno dan Hatta ditetapkan sebagai Presiden dan Wakil Presiden RIS, akibatnya pimpinan RI kosong.
Peran Mr. Assaat saat itu sangat penting, karena jika RI tanpa pimpinan, berarti ada kekosongan kekuasaan (Vacuum Of Power) dalam sejarah Indonesia. Jabatan Mr. Assaat sebagai pemangku sementara jabatan Presiden RI, berakhir setelah Belanda dan dunia internasional mengakui kembali kedaulatan RI.
RIS dilebur menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), pada 15 Agustus 1950. Soekarno dan Hatta kembali ditetapkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden RI, sementara jabatan Mr. Assaat sebagai pemangku sementara jabatan Presiden RI dinyatakan berakhir.
Selama memangku jabatan, Assaat menandatangani statuta pendirian Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta. "Menghilangkan Assaat dari realitas sejarah kepresidenan Republik Indonesia sama saja dengan tidak mengakui Universitas Gadjah Mada sebagai universitas negeri pertama yang didirikan oleh Republik Indonesia," ujar Bambang Purwanto dalam pidato pengukuhan sebagai guru besar UGM September 2004.
Ketika menjadi Penjabat Presiden, pers memberitakan tentang pribadinya, antara lain beliau tidak mau dipanggil Paduka Yang Mulia, cukup dengan panggilan Saudara Acting Presiden. Panggilan demikian memang agak canggung di zaman itu. Akhirnya Assaat bilang, panggil saja saya "Bung Presiden". Di sinilah letak kesederhanaan Assaat sebagai seorang pemimpin.
Hal itu tergambar pula dengan ketaatannya melaksanakan perintah agama, yang tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Dan dia termasuk seorang pemimpin yang sangat menghargai waktu, sama halnya dengan Bung Hatta.
Hal itu tergambar pula dengan ketaatannya melaksanakan perintah agama, yang tak pernah meninggalkan shalat lima waktu. Dan dia termasuk seorang pemimpin yang sangat menghargai waktu, sama halnya dengan Bung Hatta.
Demikian sejarah 2 presiden RI yang dilupakan tersebut, semoga kita selalu mengingat, bahwa kita memiliki 2 orang presiden yang sangat berjasa saat itu, meskipun hanya bersifat sementara, namun keberadaan dan peran mereka sangatlah penting.
Sumber : http://jelajahunik.blogspot.com dan berbagai sumber lainnya